PAGI itu, aku terbangun dari tidurku yang kurang pulas. Kedua mataku sangat
perih, leherku pegal-pegal. Aku bangkit, berdiri doyong menghadap ranjang yang
baru saja kugunakan tidur. Ibuku telah siap memasang aksi. Ibuku berdiri tegak
di sampingku saat aku terbangun, membuatku sedikit malu untuk merebahkan
kembali badanku ke ranjang yang berbalut sprai bermotif bunga-bunga itu.
Pandanganku masih belum bersahabat, masih hitam gelap. “Ini masih gelap,”
keluhku dalam hati. Apakah sebaiknya aku melanjutkan tidurku saja?
Kembali aku melipat badanku meniru hewan kaki seribu. Mataku perlahan menutup
sayu. Rasanya seperti setengah sadar. Seingatku, aku meraba selimut yang
terpental jauh akibat terjangan semalam. Entah apa pemikiran kedua orangtuaku
jika setiap malam saat tidur, aku selalu bergulat dengan selimutku. Selimut
yang kugunakan terkadang sangat jauh dari tuannya.
Sementara, ibuku masih saja mencomel. Mataku berkali-kali menutup sayu seperti
digelitik bulu ayam. Aku belum bisa terima kenyataan karena tadi malam aku
belum menuntaskan mimpiku. Ketika aku akan dibelikan sebuah sepeda oleh Ayah,
dan kami telah sampai di sebuah toko sepeda, tiba-tiba, brak..., suara kayu
dipan digebuk oleh ibuku hingga membuatku tergopoh-gopoh untuk bangkit.
Berbagai jenis sepeda ada di sana. Dari sepeda zaman kumpeni masih bertengger
di tanah Indonesia hingga sepeda zaman moderen sekarang ini. Aku kecewa dan
hatiku tergilas hasrat hampa yang telah kuidam-idamkan sejak mengenal apa itu
sepeda. Batinku terpukul sesaat meskipun aku akan mengalami depresi yang lebih
berat jika mimpiku akan sempurna namun pasti akan terbangun juga oleh desakan
waktu.
Ω
Hari itu, hari yang sangat penting, yaitu hari pertamaku untuk mulai menikmati
buaian pendidikan di Sekolah Dasar. Ambisi yang sangat kuat untuk bersekolah
kian membara dan mampu mengalirkan energi positif tiap detak jantungku, tiap
denyut nadiku.
Tadi malam aku rela menunggu pagi tanpa imbalan apa pun, tak ditemani apa pun.
Hiruk pikuk sekawan jangkrik memecah kesunyian malam. Anjing-anjing saling
bersahutan mungkin sedang bercinta, menggombal, saling balas pantun seolah
memamerkan keindahan pantun masing-masing laksana Romeo yang memikat Juliet
dengan syair terbaiknya. Namun tentunya yang dimaksud di sini adalah sebuah
drama Romeo dan Juliet yang dilakoni oleh bangsa anjing.
Kedua
orangtuaku telah terlelap beberapa jam yang lalu. Jam menunjukkan pukul satu
tengah malam. Hanya tembok yang kaku menjadi alas punggung untuk bersandar
menemaniku dengan setia saat pikiranku mulai menguap-uap tertuju pada sebuah SD
yang cukup jauh dari rumahku, kira-kira jaraknya satu kilometer.
Tak bosan memasang akting penuh di depan cermin, membongkar sepasang seragam
berwarna putih dan bawahnya merah: seragam yang akan dikenakan hari pertama
masuk sekolah nanti. Aku memantau gerak-gerik tubuhku di permukaan cermin saat
dibalut dengan seragam itu. Kiranya dengan mengeluarkan baju, maksudku adalah
tidak memasukkan ujungnya pada celana, akan membuatku terlihat keren. Tentunya
mode ini akan banyak diperagakan oleh siswa brutal di SMA Muhammadiyah. (Terdapat bab lain untuk
menceritakannya).
Krim rambut botolan yang belum waktunya untuk digunakan, tengah malam itu juga
kugali dalam-dalam sebesar biji salak. Entah apa mereknya, aku tak ingat sama
sekali. Bukan karena aku belum pandai mengeja huruf. Sebelum belajar di Sekolah
Dasar, aku sudah menguasai ilmu membaca. Semuanya berkat Ayah dan Ibu yang luar
biasa. Seingatku hanyalah warnanya yang kuning hampir mendekati oranye. Dan
tentu juga aromanya yang hampir menusuk ulu hati. Krim itu cukup mujarab karena
mampu menata dan membuat model rambutku yang mengembang dan sekarang menjadi
kempis.
Ω
SEMANGAT!
Sebuah motivasi diri untuk melepas pelukan setan yang menjalar ke seluruh
tubuh, membuatku terbebas dari belenggu malas untuk segera mengguyur tubuhku.
Semangatku mulai terpompa setelah ingat bahwa pagi itu aku akan segera dititip
oleh ayahku untuk bersekolah. Kebiasaan saban hari dimandikan oleh Ibu, kini
dengan senang hati kulakukan sendiri, demi aku bisa bersekolah dan memupuk
pertemanan dengan sahabat-sahabat baruku nanti.
Di pagi yang ceria itu tampaknya ada banyak perubahan pada diriku sampai-sampai
ibuku juga merasakan hal yang sama walau itu hanya menurutku saja. Hari-hari
sebelumnya aku sering dimandikan, diguyur tiada henti sehingga aku berteriak dingin. Untuk menampakkan
perkembangan yang lumayan pesat itu, aku cukup menjerit dalam hati. Ternyata
mandi sendiri lebih murah meriah ketimbang diguyur dengan skala waktu tak
teratur. Akibatnya, air pun masuk ke saluran hidung dan tenggorokan dibuatnya.
“Cepat, nak! Sudah jam setengah enam!”
Namun tak kuhiraukan sama sekali. Baru kali ini kurasakan kenikmatan mandi yang
begitu syahdu. Rupanya pancaran sinar berkah ilmu dari sekolah yang tengah aku
idam-idamkan itu telah terjatuh pada sebuah bak mandi dan memberikan sebuah
kehangatan istimewa bagi anak kecil sepertiku yang berambisi untuk bersekolah.
Suasana pagi mulai hangat karena sang surya menjulurkan lidahnya ke atap seng
rumahku. Dengan sedikit menggigil, aku mencoba mendekati pintu yang terbuka
agar berhubungan langsung dengan sinar matahari. Pandanganku tertuju pada
langit seraya mengekspresikan rasa bahagia yang tak kepalang, karena pagi itu
aku dapat mengenakan seragam kehormatan bocah yang diberikan hak untuk meraup
pendidikan.
Dalam hal memasang seragam, aku pun tak mau kalah dengan aksiku tadi yang
merebut perhatian ibuku saat aku mandi dengan sendiri. Aku memasang seragamku
dengan semangat menyala-nyala agar ibuku menolehkan pandangannya ke arahku dan
ia akan memujiku dengan pujian: Anak yang pintar! Tak perduli waktu itu jika
aku salah kaprah memasangnya. Ujung bawah bajuku tak rata. Aku telah salah
menjodohkan antara kancing dengan lubangnya. Itulah konsekuensinya jika sok
tahu dan bekerja hanya untuk mengharap pujian dan mendapatkan pamrih berupa
senyuman Ibu. Hitung-hitung juga sebagai reaksiku terhadap ibuku yang sempat
kecewa tadi pagi saat aku bermalas-malasan bangkit dari tempat tidur,
agar rasa kecewanya bisa tertawar dan menjelma menjadi sekuntum mawar merah
yang sudi mekar.
Setelah semua persoalanku tuntas―tas punggungku, sepatuku, dan tak lupa pula
rambut misteriusku diolesi krim rambut―kini Ibu membawakanku sepiring nasi yang
ditindih telur goreng dengan taburan irisan bawang merah dan cabai yang
dipotong-potong. Aku lupa diri dan sifat asliku sedikit demi sedikit mulai
muncul. Aku dengan manjanya membuka mulut di pinggir piring. Namun Ibu tak
melakukan aksi protes terhadapku. Ibu pun barangkali lupa. Untung saja. Aku
telah lolos dari sebuah problema kecil. Setiap gerahamku mengunyah dan lidahku
membelai nasi itu, ada rasa khawatir yang kurasakan. Bagaimana jika nanti ibuku
sadar dan tiba-tiba menyuruhku sarapan dengan suapanku sendiri? Namun tak ada
reaksi apa pun yang diperlihatkan oleh Ibu padaku. Atau Ibu dari tadi tak
pernah merespon segala perubahan-perubahan konyol yang kutunjukkan padanya.
Barangkali dianggapnya aku ini hanya bocah gombal dengan setumpuk ide muslihat.
Pagi itu, sebuah pantomim yang kupentaskan di hadapan ibuku tak mendapat pujian
apa-apa. Sebuah pantomim tak berkelas.
Pagi itu adalah pagi yang ceria. Tak ada hal apa pun yang menandingi
keceriaanku waktu itu. Tak peduli dengan jarak satu kilometer yang mungkin
lumayan jauh menurut anak-anak kecil pada umunya. Waktu itu aku merasa ganteng.
Aku tak henti-hentinya menundukkan kepala menatap sepasang sepatu yang sedang
mengetuk-ngetuk permukaan aspal agar berbunyi: prok... prok... Pokoknya
menurutku aku sudah berpenampilan menarik bahkan lebih menarik dari teman-teman
baruku nanti. Aku menarik kesimpulan demikian karena pengalamanku sendiri saat
bermain-main dengan anak-anak seumuranku yang korengan, ingusan, dekil,
kulitnya hitam karena jarang mandi. Bukan karena di desa kami tak ada air.
Bahkan tak jauh dari rumahku, terdapat mata air. Hanya saja, mungkin karena
frekuensi yang berlebihan menjemur diri saat siang dengan terik matahari yang
membakar kulit: bermain-main. Padahal waktu itu kugunakan untuk tidur siang.
Jika tidak, Ayah tak segan-segan mengambil beberapa lidi yang disatukan agar
menjadi cemeti yang paling kutakuti dengan melambai-lambaikannya dari kejauhan
hingga membuat nyaliku ciut. Apa boleh buat. Aku harus menyerahkan diri pada
Ayah. Oleh karenanya, aku berani menjamin bahwa nantinya akulah yang paling
keren, tangkas, dan perlente.
Setiba di depan gerbang sekolah itu, jantungku berdebar kencang. Berbagai rupa
aneh mulai menampakkan diri, melesat dengan tempo sedang. Apalagi sesampai di
depan gerbang, Ayah akan langsung pulang dan segera menitipku pada pamanku yang
kebetulan pada saat itu baru saja naik ke kelas 4 di sekolah itu.
Aku masih berada di lapangan sekolah. Untuk mencapai bangunan utamanya, kami
harus mendaki sebuah tangga yang cukup tinggi. Sesampai di atas,
pamanku―Tarmizi―yang waktu itu baru naik ke kelas empat, langsung mengantarku
ke kelas. Di sana sudah duduk anak-anak yang bisa kupastikan bahwa mereka lebih
tua dariku. Mereka adalah kakak kelasku. Seorang dari mereka menggangguku dan
terus mengusiliku saat aku duduk di bangku kelasku. Dia adalah teman pamanku.
Mungkin maksudnya hanya bercanda atau hanya memunculkan identitas dirinya yang
agak humoris dan ugal-ugalan. Setelah pamanku berkata, "Keponakanku jangan
diganggu!" mereka mulai mereda.
Sebiji permen menjadi pembuka perkenalan. Diberikanlah padaku sebiji permen
itu, kemudian muncul sepatah kata yang memaksaku untuk menyebutkan nama.
“Namamu siapa?”
“Yussuf.”[]
No comments:
Post a Comment