Aku merasakan mataku masih merah meskipun aku tak melihatnya. Otakku pun
masih terasa berkedut-kedut. Di atas susunan genting-genting dan di
bawah sinar rembulan yang dihiasi oleh bintang-bintang, aku membayangkan
sebuah skenario, bagaimana keluarga, yang tidak sekalipun kulihat
harmonis, bisa terbentuk?
Seorang lelaki dengan pakaiannya yang kusam, seperti seminggu dipakai terus-menerus tanpa cuci, turun dari sebuah angkutan umum.
"Tidak
boleh tugasku ini disuruh mengulang oleh si bandot tua itu! Sekali
kerja, langsung dapat nilai." Lelaki itu berkata dengan semangat.
Gulungan kertas pada tangannya dijaga sangat berhati-hati.
"Tugas
yang bapak berikan minggu kemarin harap dikumpulkan, sekarang juga!"
Lelaki tersebut mengatakan dengan suara yang sangat tegas di hadapan
mahasiswa-mahasiswanya, meskipun sudah berumur. Terlihat dari rambutnya
yang memutih sebagian.
Setelah diperiksa semua dan beberapa
mahasiswa memang sengaja tidak mengumpulkan tugas, karena sudah tau
pasti akan mengulang, lelaki berambut sebagian putih tersebut berkata
dengan nada membentak, "Kalian ini niat tidak mengerjakan tugas saya!
Kalian harus mengulang tugas kalian semua, besok pagi harus sudah
dikumpulkan pada ketua angkatan. Saya tidak menerima alasan apapun!"
Ruangan seketika menjadi gaduh dengan sorakan-sorakan kekecewaan dan
beberapa mahasiswa memukul-mukul meja, sebagai tanda kekecewaan mereka.
"'Tok.. Tok.. Tok..',..." Setelah ruangan tenang kembali, lelaki tua
tadi berkata, "... hanya ada satu mahasiswa yang tidak mengulang
tugasnya, yaitu Sardjito. Yang bernama Sardjito yang mana?"
Lelaki yang turun dari angkutan umum tadi mengacungkan jarinya, "Saya, Pak, yang bernama Sardjito." kata lelaki itu.
Seluruh
ruangan bertepuk tangan sebagai tanda kagum kepada Sardjito. Memang ia
tidak pernah disuruh mengulang dalam hal tugas-menugas.
Ketika
kelas selesai, sebagian mahasiswa langsung meninggalkan kelas dan
beberapa mahasiswa masih di kelas berdiskusi dengan mahasiswa lainnya.
Tiba-tiba seorang wanita cantik dan berpakaian sangat seksi
mendatangiku, "Sardjito," suaranya pun begitu seksi, "kamu mau ngajarin
aku bikin tugas itu gak?" Tanyanya menggoda pikiran Sardjito yang duduk
di hadapannya.
Seolah-olah otak Sardjito terhipnotis oleh keseksian wanita tersebut dan dengan sepontan Sardjito menyanggupinya.
Sekarang, Sardjito sudah berada di dalam kamar kos Melani, wanita seksi yang telah berhasil menghipnotis otak Sardjito tersebut.
"Djit,
kamu siapin aja dulu alat-alatnya, aku mau mandi dulu nih." Kata Melani
yang tak lama kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi.
Sardjito
telah mengerjakan sedikit gambaran tugas Melani. Sardjito kini
tertegun, tatapannya melamun, tetapi penuh kagum ketika Melani keluar
dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk saja.
"Gimana, Djit,
kamu udah siapin alat-alatnya?" Tanya Melani sambil berjalan ke arah
Sardjito. "Loh kok malah udah dikerjain sebagian?" Tanyanya lagi ketika
berdiri di samping Sardjito.
"Ya biar cepet aja sih, biar gak
buang-buang waktu." Jawab Sardjito dengan kaku dan tidak berani
memalingkan wajahnya dari kertas gambar di hadapannya.
"Djit,"
Panggil Melani agar Sardjito memalingkan wajahnya dari kertas gambar
tersebut, "gimana biar cepet kamu aja yang ngerjain?" Tanyanya sambil
menanggalkan handuk yang melekat di tubuhnya.
Imajinasiku
berhenti ketika seorang wanita dari lantai bawah berteriak, "KAMU TIDUR
DI LUAR MALAM INI!" Suaranya terdengar samar-samar. Lagi-lagi ibu dan
ayah bertengkar.
Untuk menghentikan perkelahian mereka, aku
melemparkan botol anggur, yang telah kosong kuminum habis, ke teras
bawah. Hingga suara pecahan botol pun mengentikan teriakkan ibu.
Apakah aku hasil dari kecelakaan yang ayah dan ibu alami, tanyaku dalam hati. Aku tak pernah melihat ibu menyayangi ayah.
"Wahai
sinar rembulan yang tak pernah padam, bukan hanya imajinasiku yang
pernah engkau saksikan, bukan hanya aku yang sedang mabuk di atas sini
yang engkau sinari. Engkau telah bersinar sejak dulu lamanya, bahkan
mungkin engkau pula yang menjadi saksi pertemuan ayah dan ibuku.
Katakanlah padaku, sang rembulan, jika imajinasiku salah, katakanlah."
Kataku sambil memangdang jauh ke sana. Sang rembulan tidak menjawab.
"Aku benar? Imajinasiku benar? Jadi, aku adalah hasil dari sebuah
kecelakaan? Aku hanya ingin dicintai sepenuhnya oleh kedua orang tuaku."
Air matakupun menetes membasahi pipi.
wohohoho thankyou ody :)
ReplyDelete