widget

widget

My Publishers

Wednesday, May 7, 2014

Rembulan by @Alvianprwrydh

Aku merasakan mataku masih merah meskipun aku tak melihatnya. Otakku pun masih terasa berkedut-kedut. Di atas susunan genting-genting dan di bawah sinar rembulan yang dihiasi oleh bintang-bintang, aku membayangkan sebuah skenario, bagaimana keluarga, yang tidak sekalipun kulihat harmonis, bisa terbentuk?

Seorang lelaki dengan pakaiannya yang kusam, seperti seminggu dipakai terus-menerus tanpa cuci, turun dari sebuah angkutan umum.

"Tidak boleh tugasku ini disuruh mengulang oleh si bandot tua itu! Sekali kerja, langsung dapat nilai." Lelaki itu berkata dengan semangat. Gulungan kertas pada tangannya dijaga sangat berhati-hati.

"Tugas yang bapak berikan minggu kemarin harap dikumpulkan, sekarang juga!" Lelaki tersebut mengatakan dengan suara yang sangat tegas di hadapan mahasiswa-mahasiswanya, meskipun sudah berumur. Terlihat dari rambutnya yang memutih sebagian.

Setelah diperiksa semua dan beberapa mahasiswa memang sengaja tidak mengumpulkan tugas, karena sudah tau pasti akan mengulang, lelaki berambut sebagian putih tersebut berkata dengan nada membentak, "Kalian ini niat tidak mengerjakan tugas saya! Kalian harus mengulang tugas kalian semua, besok pagi harus sudah dikumpulkan pada ketua angkatan. Saya tidak menerima alasan apapun!" Ruangan seketika menjadi gaduh dengan sorakan-sorakan kekecewaan dan beberapa mahasiswa memukul-mukul meja, sebagai tanda kekecewaan mereka. "'Tok.. Tok.. Tok..',..." Setelah ruangan tenang kembali, lelaki tua tadi berkata, "... hanya ada satu mahasiswa yang tidak mengulang tugasnya, yaitu Sardjito. Yang bernama Sardjito yang mana?"

Lelaki yang turun dari angkutan umum tadi mengacungkan jarinya, "Saya, Pak, yang bernama Sardjito." kata lelaki itu.

Seluruh ruangan bertepuk tangan sebagai tanda kagum kepada Sardjito. Memang ia tidak pernah disuruh mengulang dalam hal tugas-menugas.

Ketika kelas selesai, sebagian mahasiswa langsung meninggalkan kelas dan beberapa mahasiswa masih di kelas berdiskusi dengan mahasiswa lainnya. Tiba-tiba seorang wanita cantik dan berpakaian sangat seksi mendatangiku, "Sardjito," suaranya pun begitu seksi, "kamu mau ngajarin aku bikin tugas itu gak?" Tanyanya menggoda pikiran Sardjito yang duduk di hadapannya.

Seolah-olah otak Sardjito terhipnotis oleh keseksian wanita tersebut dan dengan sepontan Sardjito menyanggupinya.

Sekarang, Sardjito sudah berada di dalam kamar kos Melani, wanita seksi yang telah berhasil menghipnotis otak Sardjito tersebut.

"Djit, kamu siapin aja dulu alat-alatnya, aku mau mandi dulu nih." Kata Melani yang tak lama kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi.

Sardjito telah mengerjakan sedikit gambaran tugas Melani. Sardjito kini tertegun, tatapannya melamun, tetapi penuh kagum ketika Melani keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk saja.

"Gimana, Djit, kamu udah siapin alat-alatnya?" Tanya Melani sambil berjalan ke arah Sardjito. "Loh kok malah udah dikerjain sebagian?" Tanyanya lagi ketika berdiri di samping Sardjito.

"Ya biar cepet aja sih, biar gak buang-buang waktu." Jawab Sardjito dengan kaku dan tidak berani memalingkan wajahnya dari kertas gambar di hadapannya.

"Djit," Panggil Melani agar Sardjito memalingkan wajahnya dari kertas gambar tersebut, "gimana biar cepet kamu aja yang ngerjain?" Tanyanya sambil menanggalkan handuk yang melekat di tubuhnya.

Imajinasiku berhenti ketika seorang wanita dari lantai bawah berteriak, "KAMU TIDUR DI LUAR MALAM INI!" Suaranya terdengar samar-samar. Lagi-lagi ibu dan ayah bertengkar.

Untuk menghentikan perkelahian mereka, aku melemparkan botol anggur, yang telah kosong kuminum habis, ke teras bawah. Hingga suara pecahan botol pun mengentikan teriakkan ibu.

Apakah aku hasil dari kecelakaan yang ayah dan ibu alami, tanyaku dalam hati. Aku tak pernah melihat ibu menyayangi ayah.

"Wahai sinar rembulan yang tak pernah padam, bukan hanya imajinasiku yang pernah engkau saksikan, bukan hanya aku yang sedang mabuk di atas sini yang engkau sinari. Engkau telah bersinar sejak dulu lamanya, bahkan mungkin engkau pula yang menjadi saksi pertemuan ayah dan ibuku. Katakanlah padaku, sang rembulan, jika imajinasiku salah, katakanlah." Kataku sambil memangdang jauh ke sana. Sang rembulan tidak menjawab. "Aku benar? Imajinasiku benar? Jadi, aku adalah hasil dari sebuah kecelakaan? Aku hanya ingin dicintai sepenuhnya oleh kedua orang tuaku." Air matakupun menetes membasahi pipi.

1 comment:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...