Suatu
malam, aku benar-benar kesulitan untuk memejamkan mataku. Tak seperti
biasanya―setelah membaca buku-buku paket mata pelajaran untuk esok hari, aku
langsung menekan saklar untuk mematikan lampu, lalu aku menarik selimut dan
memeluk bantal guling sembari perlahan menuju alam mimpi. Malam ini pun begitu
namun sedikit berbeda. Tiba-tiba muncul perasaan bahagia sebelum aku terlelap.
Perasaan bahagia itu membuatku tersenyum, lalu senyumku itu sulit membuatku
kantuk. Akhirnya, terlalu banyak tersenyum, membuatku bisa mengantuk. Dan esok
pagi, aku akan menjumpai diriku terbangun dalam keadaan tersenyum. Aku bahagia.
Malam-malam
berikutnya pun menjadi begitu panjang. Malam berikutnya lagi, lebih panjang
dari malam sebelumnya. Dan malam ini adalah malam terpanjang sehingga membuatku
dongkol. Ingin rasanya esok pagi segera datang agar aku bisa lagi curi-curi
pandang dengan wanita berpipi bakpao itu. Kamarku yang begitu gelap, dihuni
oleh hantu berparas cantik. Bayang-bayang wajahnya melayang meliuk-liuk di
langit-langit kamar, merosot ke bantal guling, lalu menyelinap masuk ke mataku.
Proses menuju lelap akan semakin sulit karena jika aku memejamkan mataku,
bayangan wajahnya akan semakin dekat. Bayangan yang jahat. Tak ada belas kasihan
untuk lelaki bodoh yang pura-pura pintar menahan hasratnya untuk mengakui bahwa
separuh hatinya telah ditambat oleh bidadari berpipi bakpao itu.
Aku
punya teman dekat seorang wanita yang kebetulan dia adalah anggota teater di
sekolahku. Pikirku, semoga saja dia bisa membantuku mengatasi permasalahan yang
setelah kuputuskan dengan penuh pertimbangan, bahwa permasalahan ini ternyata cukup
serius. Aku tak sanggup menahan perasaan yang menegangkan ini jika kusimpan
sendiri. Pun sepertinya aku tak sanggup mengatakan bahwa aku berhasil jatuh
cinta kepada seseorang. Aku takut jika ini kuungkap, teman-temanku yang
mulutnya seperti radio rusak itu akan mengabarkan berita-berita sesuka hatinya.
Cukup sudah aku merasakan derita semacam itu. Aku telah belajar dari pengalaman
ketika aku ditimpa gosip tak sedap karena dipergoki sering meminjam polpen pada
seorang teman wanitaku. Tak ada pilihan lain selain harus berani mengungkapkan
perasaanku yang aneh terhadap wanita berpipi tembam itu. Benar-benar tak ada
pilihan lain.
Aku
menggulir tombol handphone untuk
mengetik pesan singkat kepada temanku.
Aku : Dis,
nama anak baru itu siapa?
Disya : Yang
mana?
Aku : Dia
duduk paling depan waktu kita latihan teater. Pipinya tembam.
Disya : Namanya
Tika. Kenapa?
Aku : Aku
minta nomor HP-nya dong.
No comments:
Post a Comment