widget

widget

My Publishers

Thursday, May 29, 2014

Ingin Melihat Senyummu PART 2 by @edytamala

Di depan panggung, kami kompak menggigil karena performa teater sekolah yang sepertinya akan hebat. Sempat aku ingin membatalkan pementasanku. Namun perlengkapan teaterku seperti kostum, kacamata, dan kumis palsu sudah disiapkan oleh guru-guru yang mendukungku. Bukan hanya itu persoalannya. Tiba-tiba aku memikirkan bagaimana perasaan guruku nanti ketika di atas panggung aku meniru-niru semua lelakon yang pernah terjadi di dalam kelas. Pun, belum habis ketakutanku ketika melihat pementasan teater di depan mataku itu seperti televisi rusak tak bersuara dan tak diminati penonton. Bagaimana tidak? Kakak-kakak kelas sibuk menjepret momen-momen indah yang pasti tak akan dialaminya lagi di masa yang akan datang. Mereka berpose dan bertingkah sesuka-sukanya. Mereka para wanita berpose sok manis dengan pipi tembam yang dibuat-buat, sisanya yang lain berebut tempat agar tampak pada kamera, lalu mereka berteriak gembira. Para lelaki tak mau kalah. Mereka yang ditakdirkan terlahir ke bumi untuk menjadi pendek, menaiki kursi agar paras jenakanya tertimpa jepretan kamera. Belum lagi mereka yang berpacaran, posenya dapat dipastikan paling menjengkelkan dari yang menjengkelkan. Mendadak teater itu menjadi semacam bukan sebuah tontonan. Aku jadi tak mengerti makna pertunjukan itu karena dialog-dialog mereka dilibas dengan kegaduhan kakak-kakak kelas. Pak tua mengaduk-aduk rambutnya dengan wajah pucat pasi. Begitu juga denganku. Aku menyesal dengan keputusanku tadi malam.
            Aku melangkahkan kaki dengan gemetar menuju belakang panggung. Teman-teman dan guru-guru yang sudah mendapatkan sedikit bocoran mengenai lakon teaterku, semua bertepuk tangan untuk menyemangatiku. Bukannya aku semakin termotivasi, malah merasa diri semakin bodoh dan merugi. Melihat dua guru yang akan kuzalimi duduk paling depan dengan wajah ceria, aku jadi ingat seseorang yang bernama Malin Kundang. Aku merasa sehina itu dan dalam hati aku berdoa agar tidak dikutuk menjadi batu. Tahukah kalian wahai bapak guru? Sebentar lagi kalian akan terluka!
            Seseorang serta merta meraih mikropon dengan girang mengambil alih tugas si pembawa acara. Sempat aku membencinya ketika suaranya mulai kukenal menjerit-jerit di depan mikropon, seolah kata-kata busuknya adalah surprise. Ia adalah temanku sekaligus pencetus ide busuk itu. Tanganku gemetar memasang kumis palsu.
INILAH PERSEMBAHAN DARI...
            Berseragam pegawai negeri sipil dengan pantofel yang berkilap, menjinjing tas yang serupa koper, berkumis palsu, mimik wajah yang dikerutkan serupa orang tua―aku lenggak-lenggok menuju mimbar seperti bintang tamu penting dalam sebuah acara talk show. Mereka yang mengerti teaterku akan seperti apa, bersorak-sorak gembira untuk menyemangati. Sebentar lagi wajahku akan muncul di atas panggung, dan akhirnya muncul juga. Ganjil sekali. Belum sempat aku mengeluarkan sepatah pun kata, kakak kelas yang berada di barisan paling depan, beberapa dari mereka memegang perutnya sampai berguling-guling menertawakanku. Guru-guru bangkit dari tempat duduknya untuk melakukan aksi standing applause. Kameramen yang semestinya menyorot wajahku, kini terkapar dengan kamera menghadap langit. Semangatku meledak seperti tabung elpiji.
            Sudah! Ceritanya sampai di situ saja ya? Aku takut menjadi Malin Kundang.
            Turun dari panggung, aku disalami dan dipuja-puja bak santa. Salah satu dari mereka, guru yang kutirukan karakternya di atas panggung, menyalami dan berterima kasih berulang kali.
            “Duh! Saya jadi tahu kekurangan-kekurangan saya ketika sedang mengajar di dalam kelas. Ini pertama kali terjadi. Sebelum-sebelumnya tidak ada yang pernah seperti ini.”
Beliau tersenyum lebar. Entah itu kebahagiaannya karena mendapatkan masukan dari muridnya atau membenciku secara halus? Lain pula dengan guruku yang satunya, guru yang juga kutiru karakternya―kulihat dari kejauhan, pundaknya dielus-elus oleh beberapa kakak kelasku. Wajahnya datar menatapku. Aku gemetar. Aku berkata dalam hati: Aduh! Pasti nilai sosiologiku akan mendapatkan nilai jelek! Pak tua―pelatih teater itu―menjabat tanganku erat seolah ia terima kalau performa teaternya kalah telak dengan performa teaterku.
“Luar biasa! Saya akan pakai kamu di setiap acara-acara besar!” katanya.
“Aduh! Jangan pak! Itu hanya kebetulan saja.” Jawabku.

Belum juga tanganku dilepaskannya. Erat sekali jabatan tangannya! “Kamu bersedia?” tatapannya tajam seolah walaupun aku akan menolaknya, ia akan tetap memaksa. Aku terpaksa menyetujuinya karena tatapan matanya yang tajam itu telah membuatku terhipnotis. Begitulah ceritanya bagaimana aku bisa menjadi seperti sekarang ini. Dengan gampangnya aku tak peduli dibenci guru, karena aku telah menemukan cinta. Cinta telah membuat kegelisahan menjadi kebahagiaan. Catat! Ini salah satu dampak cinta! Saat merasakan cinta, kita selalu bahagia. Kita selalu melupakan bahaya-bahaya yang berjalan berdampingan dengannya.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...