Di depan panggung, kami
kompak menggigil karena performa teater sekolah yang sepertinya akan hebat.
Sempat aku ingin membatalkan pementasanku. Namun perlengkapan teaterku seperti
kostum, kacamata, dan kumis palsu sudah disiapkan oleh guru-guru yang
mendukungku. Bukan hanya itu persoalannya. Tiba-tiba aku memikirkan bagaimana
perasaan guruku nanti ketika di atas panggung aku meniru-niru semua lelakon
yang pernah terjadi di dalam kelas. Pun, belum habis ketakutanku ketika melihat
pementasan teater di depan mataku itu seperti televisi rusak tak bersuara dan
tak diminati penonton. Bagaimana tidak? Kakak-kakak kelas sibuk menjepret
momen-momen indah yang pasti tak akan dialaminya lagi di masa yang akan datang.
Mereka berpose dan bertingkah sesuka-sukanya. Mereka para wanita berpose sok
manis dengan pipi tembam yang dibuat-buat, sisanya yang lain berebut tempat
agar tampak pada kamera, lalu mereka berteriak gembira. Para lelaki tak mau
kalah. Mereka yang ditakdirkan terlahir ke bumi untuk menjadi pendek, menaiki
kursi agar paras jenakanya tertimpa jepretan kamera. Belum lagi mereka yang
berpacaran, posenya dapat dipastikan paling menjengkelkan dari yang
menjengkelkan. Mendadak teater itu menjadi semacam bukan sebuah tontonan. Aku
jadi tak mengerti makna pertunjukan itu karena dialog-dialog mereka dilibas
dengan kegaduhan kakak-kakak kelas. Pak tua mengaduk-aduk rambutnya dengan
wajah pucat pasi. Begitu juga denganku. Aku menyesal dengan keputusanku tadi
malam.
Aku melangkahkan kaki dengan gemetar menuju belakang
panggung. Teman-teman dan guru-guru yang sudah mendapatkan sedikit bocoran
mengenai lakon teaterku, semua bertepuk tangan untuk menyemangatiku. Bukannya aku
semakin termotivasi, malah merasa diri semakin bodoh dan merugi. Melihat dua
guru yang akan kuzalimi duduk paling depan dengan wajah ceria, aku jadi ingat seseorang
yang bernama Malin Kundang. Aku merasa sehina itu dan dalam hati aku berdoa
agar tidak dikutuk menjadi batu. Tahukah kalian wahai bapak guru? Sebentar lagi
kalian akan terluka!
Seseorang serta merta meraih mikropon dengan girang
mengambil alih tugas si pembawa acara. Sempat aku membencinya ketika suaranya
mulai kukenal menjerit-jerit di depan mikropon, seolah kata-kata busuknya
adalah surprise. Ia adalah temanku
sekaligus pencetus ide busuk itu. Tanganku gemetar memasang kumis palsu.
INILAH
PERSEMBAHAN DARI...
Berseragam pegawai negeri sipil dengan pantofel yang
berkilap, menjinjing tas yang serupa koper, berkumis palsu, mimik wajah yang
dikerutkan serupa orang tua―aku lenggak-lenggok menuju mimbar seperti bintang
tamu penting dalam sebuah acara talk show.
Mereka yang mengerti teaterku akan seperti apa, bersorak-sorak gembira untuk
menyemangati. Sebentar lagi wajahku akan muncul di atas panggung, dan akhirnya
muncul juga. Ganjil sekali. Belum sempat aku mengeluarkan sepatah pun kata,
kakak kelas yang berada di barisan paling depan, beberapa dari mereka memegang
perutnya sampai berguling-guling menertawakanku. Guru-guru bangkit dari tempat
duduknya untuk melakukan aksi standing
applause. Kameramen yang semestinya menyorot wajahku, kini terkapar dengan
kamera menghadap langit. Semangatku meledak seperti tabung elpiji.
Sudah! Ceritanya sampai
di situ saja ya? Aku takut menjadi Malin Kundang.
Turun dari panggung, aku disalami dan dipuja-puja bak
santa. Salah satu dari mereka, guru yang kutirukan karakternya di atas
panggung, menyalami dan berterima kasih berulang kali.
“Duh! Saya jadi tahu kekurangan-kekurangan saya ketika
sedang mengajar di dalam kelas. Ini pertama kali terjadi. Sebelum-sebelumnya
tidak ada yang pernah seperti ini.”
Beliau
tersenyum lebar. Entah itu kebahagiaannya karena mendapatkan masukan dari
muridnya atau membenciku secara halus? Lain pula dengan guruku yang satunya,
guru yang juga kutiru karakternya―kulihat dari kejauhan, pundaknya dielus-elus
oleh beberapa kakak kelasku. Wajahnya datar menatapku. Aku gemetar. Aku berkata
dalam hati: Aduh! Pasti nilai sosiologiku
akan mendapatkan nilai jelek! Pak tua―pelatih teater itu―menjabat tanganku
erat seolah ia terima kalau performa teaternya kalah telak dengan performa teaterku.
“Luar
biasa! Saya akan pakai kamu di setiap acara-acara besar!” katanya.
“Aduh!
Jangan pak! Itu hanya kebetulan saja.” Jawabku.
Belum
juga tanganku dilepaskannya. Erat sekali jabatan tangannya! “Kamu bersedia?”
tatapannya tajam seolah walaupun aku akan menolaknya, ia akan tetap memaksa.
Aku terpaksa menyetujuinya karena tatapan matanya yang tajam itu telah
membuatku terhipnotis. Begitulah ceritanya bagaimana aku bisa menjadi seperti
sekarang ini. Dengan gampangnya aku tak peduli dibenci guru, karena aku telah
menemukan cinta. Cinta telah membuat kegelisahan menjadi kebahagiaan. Catat!
Ini salah satu dampak cinta! Saat merasakan cinta, kita selalu bahagia. Kita
selalu melupakan bahaya-bahaya yang berjalan berdampingan dengannya.
No comments:
Post a Comment