Pendiam dan keras kepala, itulah aku.
Sifat ini belakangan kuketahui setelah aku punya sebuah gitar, pemberian dari
pemuda yang malang itu. Seperti pada kesempatan ini, Ayah berceramah lagi.
“Anak Haji Ramli, begitu pulang dari
Mesir, dia hafal Al-Qur’an! Dia menjadi seorang ustad yang akan berguna bagi
semua orang. Hebat kan?”
Adikku yang sedang makan dengan
lahapnya, menjawab dengan mengangguk-angguk. Adikku yang nakal, rajin makan,
ternyata ia adalah anak yang penurut. Mengapa bisa begitu? Barangkali adikku
terpengaruh hasutan ayahku. Kata ayahku, di pondok pesantren nanti, lauknya
enak-enak: seperti daging. Mendengar itu, berbinarlah mata adikku. Tapi aku
kenal betul bagaimana ayahku. Beliau akan melakukan segala cara agar
anak-anaknya mengikuti apa yang dimintanya. Seperti janji-janji buah semangka
dulu, aku sakit hati dibuatnya. Aku lebih baik diam. Lebih baik begitu.
Kembali membincangkan gitar. Sebenarnya
aku bisa menggunakan gitar itu tak lepas dari perjuangan berhari-hari
mendandaninya. Keadaan gitar sebelum kudandani sebetulnya sulit kulukiskan
dengan kata-kata. Kejadian yang lalu saat pemuda menyeruduk tembok rumah warga,
berhasil didramatisir oleh warga. Konon saking hebatnya insiden itu, jari
kelingking pemuda itu nyaris lepas. Bahkan ada pula yang berkisah, konon
jenggot pemuda itu sampai tertinggal di tembok rumah warga lantaran betapa
dahsyatnya benturan itu. Manusia saja bisa begitu keadaannya, apalagi sebuah
gitar yang terbuat dari kayu.
Setelah mendengarkan pengakuan warga
tentang menyedihkannya kondisi pemuda yang dilarikan ke puskesmas itu,
sebenarnya jika gitar ini adalah makhluk hidup, gitar inilah yang lebih
menderita. Jika gitar tersebut ibarat manusia, kuping manusia itu telah lenyap
karena pasak stem gitar itu telah copot. Perutnya telah robek karena tabung
resonansinya tak keruan bentuknya: tripleks yang merekatkan antara body gitar
bagian depan dan belakang telah terombak. Sedangkan body depannya, di bagian
tengah, bekas patahannya telah hilang. Akibatnya jika mengencangkan senar
dengan memutar-mutar pasak stem terus-menerus, lama-lama gitar itu akan
membentuk huruf "L".
Berhari-hari aku mencari bantuan kepada
tukang-tukang kayu sahabat ayahku untuk memperbaikinya, semakin pula aku nyaris
putus asa lantaran tak satu pun mereka ada yang menyanggupi. Katanya kondisi
gitar itu terlampau parah, bahkan dewa gitar pun tak sanggup melakukannya. Tapi
bagaimanapun keadaannya, aku percaya bahwa gitar ini adalah bentuk pencapaian
mimpi-mimpiku yang telah dikabulkan oleh Tuhan. Aku tak boleh menyerah begitu
saja. Nikmat Tuhan yang mana lagi untuk didustakan?
Tiga buah lem perekat murahan yang
telah tandas adalah bentuk upaya kepedulianku terhadap gitar itu. Semua bagian
yang terombak dan patah telah dilumuri secara adil sama rata dengan lem itu.
Sekarang bagian tersulit adalah bagaimana cara mengakali agar saat
mengencangkan senar nanti, gitar itu tidak melengkung membentuk huruf
"L". Tak ada tripleks, papan-papan berukuran kecil pun kurekatkan di
kedua ujung badan gitar yang terpisah. Sebab rongga pada tabung gitar itu
semakin banyak karena papan-papan yang kurekatkan lebih kecil ukurannya
ketimbang serpihan badan gitar yang hilang, serta tegangan senar yang dipasang
kendor, akibatnya kualitas bunyi yang dihasilkan jauh sekali dari yang kuharapkan.
Meski demikian, aku bahagia. Sebelum tidur, aku pamit dulu padanya dengan
mengelus-elusnya. Bangun tidur nanti, gitar itu akan tersenyum sambari
tersandar di sudut sana lalu berkata, "Selamat pagi, Tuan!"
Beberapa bulan kemudian, kami semua
lulus dari sekolah itu. Teman-temanku semuanya mendaftar ke SMP setempat.
Sementara aku, sepekan sudah terbujur kaku seperti mayat hidup. Penyakit aneh
telah mengambil alih hidupku. Seperti yang kawan ketahui bahwa aku membenci
segala yang berbau dengan rumah sakit. Aku yang sedang sakit, kemungkinan jika
ayahku tahu, kisah lama akan terulang kembali. Padahal aku berharap semoga saja
itu terakhir kali aku berurusan dengan yang namanya rumah sa-kit. Namun
pengalaman 6 tahun silam rasa-rasanya datang kembali. Memang di desa tak ada
rumah sakit. Tapi tak jauh dari rumahku, terdapat puskesmas. Bagi orang desa,
puskesmas adalah rumah sakit.
Awalnya penyakit itu biasa-biasa saja
dan tidak terlalu buas. Aku sering mengidap pusing-pusing ringan menjelang
siang dan pulih kembali esok pagi. Begitu terus menerus sampai aku bingung
dengan keadaanku yang demikian aneh itu. Penyakit ini sudah berlangsung
beberapa hari namun kurahasiakan pada Ayah dan Ibu dengan pura-pura tegar di
hadapan mereka.
Penyakit itu lama-kelamaan menampakkan
maksud yang sebenarnya. Pulang dari sekolah, selepas mengambil ijazah,
tiba-tiba kepalaku serasa ditumpuki beban berton-ton disertai pandangan yang
bergetar-getar seperti sedang menyaksikan televisi hitam putih yang tak
menangkap siaran. Kususuri sungai sambil sesekali membasuh wajahku agar merasa
segar. Ganjil sekali rasanya, biasanya aku melewati jalan raya meskipun terik
matahari membakar tengkuk, namun penyakit ini tak bisa diajak kompromi. Bisa
jadi karena panas, aku akan pingsan di tengah jalan. Kisah kuburan meledak yang
dulu sempat membuat pelayat kocar-kacir, terbuang jauh-jauh dari ingatanku, dan
sebentar lagi kuburan itu akan kulewati. Kuburan itu adalah jalan pintas menuju
rumahku jika ingin terbebas dari sengatan matahari.
Sampai rumah, aku langsung tergeletak
di teras dengan seragam sekolah dan tas punggung masih melekat di badanku.
Seluruh bagian tubuhku rasanya sudah hilang, rasanya hanya ada kepalaku yang
tersisa karena penyakit itu bersarang di sana. Berkali-kali Ibu membangunkanku
untuk makan siang, aku mendengarnya, namun aku hanya mengangguk-angguk.
Mendengar nada Ibu yang semakin serius karena merasa asing melihatku tergeletak
di teras, aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk bangkit agar aku terlihat
tegar. Begitu bangkit, entah dari mana datangnya batu-batu serasa
berdesak-desakan di dalam kepalaku, berat sekali. Perutku mual, muntah di
teras, aku kembali layu.
Sejak itu penyakitku mendapat
penanganan yang serius dari ayahku. “Dasar keras kepala!” katanya. Mendengarnya
mendampratku demikian, aku menguatkan diri untuk bangkit. “Aku tidak apa-apa!”
jawabku. Namun pembelaanku sia-sia. Aku diseretnya ke rumah seorang mantri
suntik. Tamatlah aku.
Bukankah ayahku pernah bilang, mantri
suntik itu buruk reputasinya ketika ia kuliah dulu? Bertahun-tahun kuliahnya
karena ia bodoh. Lega rasanya karena tak dibawa ke puskesmas, kini aku tegang
kalau-kalau mantri itu salah sangka terhadap penyakitku. Mantri itu sebenarnya
berteman baik dengan ayahku. Sering ia ke rumahku, sering aku menguping perbincangannya.
Misalnya salah satunya begini.
“Ini sedikit kisah konyol!” katanya
dengan mata berbinar-binar. Ia berkisah bahwa tempo hari seorang petani
mengetuk pintu rumahnya sambil menggigil kedinginan di dalam sarungnya. Si
petani mengadu bahwa gara-gara penyakit yang dideritanya, membuatnya absen
menggarap sawahnya selama dua hari.
“Pak, sudah tiga hari ini saya panas
dingin!”
Ia minta disuntik karena konon jika
disuntik mantri itu, ia cepat sembuh. Ia seorang pelanggan tetap di sana.
Inilah paham yang dianut oleh sebagian warga di desa itu. Jika merasa cocok
dengan mantri suntik yang satu, sampai sepuh pun ia akan mengabdi kepada mantri
suntik itu. Padahal obat mantri suntik di mana-mana selalu sama. Jika
sakit kepala, tak mungkin akan diberikan obat sakit hati atau obat sakit
jiwa.
“Aduh! Kebetulan cairan suntikannya
sudah habis, Pak! Bagaimana kalau saya berikan obat saja?” tawarannya serius.
“Saya pasti langsung sembuh jika bapak
yang menyuntik saya!”
Karena sugesti si petani yang begitu
kuat, si mantri pun mengisi suntikannya dengan air mineral tanpa sepengetahuan
si petani. Tentu ketika melihat alat suntik itu sudah berisi cairan, mata si
petani berkaca-kaca lantaran bahagia.
Seeeerrrr.... Air mineral itu
dibelesakkan ke dalam bokongnya.
“Tak usah dibayar!”
“Terima kasih, Pak!”
Keesokan harinya, keduanya bertemu di
jalan raya. Sambil berlari mengusung cangkulnya, si petani berseru, “Pak! Saya
sudah sembuh! Terima kasih!”
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah
ini adalah: pertama, suatu penyakit akan sembuh jika kita memiliki sugesti yang
kuat untuk sembuh. Kedua, jika berbakat jadi tabib, jangan sampai jadi mantri
suntik! Itu sebabnya banyak kasus dokter salah mendiagnosa suatu penyakit yang
diderita orang.
Aku pasrah. Wajahku mendadak pias setelah
mendengarkan pengakuan mantri suntik bahwa aku terkena penyakit malaria. Kali
ini aku rela disuntik asal jangan sampai masuk ke rumah sakit untuk kedua
kalinya. Seerrr! Cairan suntik itu melesat seketika. Aku berkeringat dingin.
“Istirahatlah agar seminggu ini bisa
sembuh! Minggu depan kita berangkat ke Narmada, mendaftar di pesan-tren!”
Kuserahkan semuanya berjalan atas
kehendak Tuhan saja walau sebenarnya jauh di dalam hatiku, aku ingin sakit
berlama-lama agar aku didaftarkan di SMP terdekat. Perkembangan kesehatanku
beberapa hari ke depan adalah penentu apakah aku akan menjadi seorang murid SMP
atau menjadi santri di Pondok Pesantren. Aku tidak ingin berpisah lagi dengan
teman-teman yang aku cintai, juga dengan gitar pertamaku itu. Hidup memang
penuh dengan sesuatu yang kita cintai, namun sesuatu yang kita cintai itu malah
menjauhi kita. Sesungguhnya di sanalah letak ujian Tuhan yang paling berat.
Ajaibnya waktu, keadaanku semakin
membaik walaupun sebetulnya aku masih merasa sakit. Ajaibnya waktu juga, mengapa
ia selalu tak memihak di saat aku akan berpisah dengan teman-teman yang aku
sayangi? Seperti dulu, sekarang pun berlaku. Akses menuju rumah teman-temanku
sangat sulit. Mustahil bertemu mereka di saat-saat tak terduga seperti ini. Aku
akan meninggalkan mereka karena sebentar lagi aku akan menjadi santri di pondok
pesantren. Aku menitip kata-kata rindu untuk mereka melalui adikku. Ajaibnya
juga, ayahku selalu punya partner dalam berbuat kriminal. Keadaanku yang masih
belum sehat jiwa dan raga itu, perlulah Pak Muntaha ambil bagian dalam kasus
ini. Ia menaikkanku ke sadel motor dan memelukku erat-erat di belakang.
Sementara ayahku menancapkan gas sepeda motor itu tanpa sedikit pun belas
kasihan kepadaku. Sepeda motor itu meraung-raung tak peduli. Sejak itu aku tak
pernah tahu lagi bagaimana kabar teman-temanku selama 6 tahun ke depan.[]
No comments:
Post a Comment