widget

widget

My Publishers

Sunday, June 1, 2014

Ingin Melihat Senyummu PART 1 by @edytamala

Aku adalah seorang penulis di sebuah blog yang belakangan ini jarang sekali menulis di blog itu, hanya sesekali saja memantau perkembangannya. Aku jarang menulis karena repot mengurus kesibukan-kesibukan lain. Aku termasuk seorang yang punya banyak mimpi dan seringkali kepalaku pusing memikirkan itu semua. Sejak SMA, aku sudah mulai menulis dan berencana suatu saat aku akan membukukan tulisan-tulisanku itu. Sekarang, aku adalah mahasiswa semester akhir. Tapi apa kenyataannya? Tulisan-tulisanku itu masih menjadi sampah-sampah yang mengotori sebuah folder pada Drive D! Semuanya adalah sampah yang tak pernah sempat untuk didaur ulang. Kerap kali aku bertanya kepada diriku sendiri sebetulnya apa yang aku inginkan, aku selalu diam. Aku selalu menguatkan diri dengan beribu alasan, salah satunya: ini belum waktunya. Lalu aku bertanya lagi: kapan waktu itu datang? Aku bergeming. Aku semakin pusing saja dibuatnya.
            Aku menyelinap ke dalam folder itu lalu membaca ulang tulisan-tulisanku. Membacanya membuatku teringat masa-masa di mana aku senantiasa bodoh. Kisah-kisah itu tak lain dan tak bukan adalah kisah-kisah hitam, kisah memalukan jika diingat-ingat untuk sekarang ini. Dengan sedikit berat aku harus mengakui bahwa aku pernah menjadi penulis yang giat dan produktif ketika aku sedang dirundung duka. Pantas saja akhir-akhir ini aku tak pernah lagi menulis karena aku punya kesibukan-kesibukan lain yang membuatku sudah 2 tahun ini terbebas dari belenggu. Apakah aku semata-mata menulis karena patah hati? Pernyataan ini semakin memalukan dan membuatku geli.
Namun, tak akan lagi kusesali semuanya dalam hidupku. Menjadi angkuh seperti sekarang ini menuai proses yang demikian panjang dan membanggakan. Aku terlampau sering menyesal dan aku kenal betul bagaimana rasanya sebuah penyesalan. Ia lebih pahit ketimbang mengunyah 1001 buah mengkudu atau meminum cairan remasan daun pepaya ketika aku sempat menderita malaria dahulu. Menyesal adalah hal yang pasti dialami setiap manusia. Namun sekarang, bagaimana aku menyikapi penyesalan-penyesalan itu menjadi risiko yang harus aku terima karena telah melakukan hal yang merugikan diri sendiri. Aku yang melakukan, akulah yang menanggungnya. Bijaksanalah. Aku harus belajar dari pengalaman-pengalaman. Semuanya adalah pelajaran. Indah sekali, bukan? Anggaplah demikian.
            Cinta, tak ada definisi pasti. Bahkan para cerdik cendekia tak pernah ingin membahas persoalan ini di dalam buku. Seperti yang pernah kudengar ketika menonton sebuah film: Aku tidak tahu apa itu cinta, tapi di dekatnya aku merasa bahagia. Kata-kata yang klise dan membosankan. Tapi aku nampaknya setuju dengan pernyataan itu. Ketika seseorang sedang merasakan cinta, semua serba terbalik. Dunia seluas ini, dihuni banyak manusia, dianggapnya milik berdua. Tak ada manusia lain, tak ada kesedihan, tak ada kepintaran dalam suasana itu. Mereka lupa bahwa suatu saat langit akan runtuh. Tak ada yang tak mungkin. Hati yang sedang tenteram pun dapat berguling-guling dalam sekejap saja dan logika tak dapat menolongnya. Cinta dalam hitungan detik bisa berubah menjadi petaka. “Galau” adalah kata lain untuk melukiskan petaka itu. Begitulah sebagaian besar kaula muda menyebutnya. Setelah semuanya berubah ke dalam kondisi itu, selebihnya adalah ratapan, menangis tersedu-sedan. Oh, menggiriskan, memilukan. Atau seperti yang dikatakan oleh lirikus: Aku tanpamu, butiran debu. Cinta akan memberi dua rasa yang sama-sama menggetarkan: suka dan duka. Malas sekali orang-orang pintar itu mambahasnya dalam buku.
            Perasaan itu yang pernah merundungku. Namun setelah sekian lama waktu berputar-putar, aku menyadari bahwa, detik itu aku mencintai, detik itu pula aku harus siap terluka. Kurenungi lebih dalam lagi, bahwa aku semestinya menulis kisah-kisah yang tak melulu soal kesedihan. Pada akhirnya, aku punya kesibukan baru: menyelesaikan novelku dan membukukannya. Alasan itu yang membuatku meninggalkan blog dalam waktu yang cukup lama.
Prestasi tertinggi bagiku dalam kategori cinta adalah ketika aku ditimpa gosip tak sedap. Meletuslah isu bahwa aku mencintai sesosok wanita lantaran aku sering dipergoki oleh temanku ketika aku meminjam alat-alat tulis pada wanita itu. Mulut-mulut temanku yang merepet sana-sini persis ibu-ibu ketika bergosip, membuat kabar tak sedap ini merebak ke seantero sekolah. Tak berselang lama, suatu ketika, wanita itu diteror oleh temanku melalui sms dan mengaku itu adalah aku. Esoknya aku kena damprat dari wanita itu. Isi dari sms itu memang menggemaskan. Membaca pesan singkat itu, aku ingin melompat ke kolam, menyelam dan tak muncul-muncul lagi ke atas permukaan air. Tak akan pernah aku mengingatnya andai saja saat ini aku tak terpaksa mengingatnya. Isi pesan singkat itu kurang lebih seperti ini... ah, sebaiknya jangan kuceritakan saja. Biarlah aku, dia, temanku, dan Tuhan yang tahu. Hebat sekali dampak buruk lelucon dari temanku itu. Selepas kejadian itu, hari-hariku bergulir dengan kegelisahan bak perahu yang berlayar di atas ombak yang ganas. Tak pernah ada bahagia. Persahabatanku dengan wanita itu berantakan. Beginilah risikonya memang, lantaran sering menertawai kisah cinta orang lain. Ketika aku dapat gosip ringan, dibalasnya oleh temanku dengan perlakuan gokil yang memalukan.
***
            Semula, aku tak begitu mengenal cinta, pun tak begitu berminat mengetahui apa itu cinta. Aku adalah penghibur bagi teman-temanku di saat mereka sedih. Bisa melihat mereka tertawa terpingkal-pingkal, secara tidak langsung aku telah menghibur diriku sendiri. Kami selalu bahagia. Tak pernah kupusingkan persoalan cinta, karena bagiku, itu semua tak lebih tak kurang hanyalah sebuah lelucon. Jika seorang teman datang membawa kabar duka tentang cintanya, aku menertawainya. Aku bahagia menertawakan cintanya, bahagia bukan main. Cinta adalah semacam benda yang tak ada wujudnya namun bising di telinga ketika aku mendengar mereka menyebutnya. Namun keadaan telah berubah ketika aku baru saja naik ke kelas 2 SMA.
            Mari dengarkan saja aku bercerita. Begini. Hmm...
            Bayang-bayang indah menghiasi hari-hariku sejak aku mengenalnya. Jika malam tiba, bayang-bayang itu selalu membuatku resah. Awal jumpa dengannya adalah ketika aku sedang bermain band di ruang musik sekolahku. Dia melintas di depanku membawa mukena karena wanita itu akan salat di musala sekolah. Cara berjalannya yang selalu tertunduk membuatnya terlihat demikian aneh di mataku. Selalu begitu setiap ia melintas di depan ruang musik sekolahku. Timbul keinginan lebih dalam untuk mengetahui siapa wanita misterius itu. Demi keinginan yang aneh itu, aku berniat akan memata-matainya.
            Perasaan yang ganjil muncul. Ada gairah baru setiap aku melangkahkan kaki ke sekolah. Aku biasanya tiba di sekolah pada saat-saat injury time. Pernah juga ketika menyentuh gerbang, bel sekolah menjerit histeris. Atau pernah juga aku menjumpai gerbang sekolah yang sudah ditutup rapat oleh pak satpam. Segampang membalikkan telapak tangan, segampang itu tabiat burukku membaik secara drastis setelah tertimpa buah durian yang manis. Ada zat aneh menyusup ke dalam hatiku, membuat hatiku terasa dipenuhi gelembung-gelembung rindu, sehingga setiap berjalan, rasanya telapak kakiku melayang-layang tak menyentuh tanah. Jalan-jalan setapak sempit yang sering kulalui ketika pergi atau pulang sekolah―menjadi begitu lapang, teduh, dan seakan semarak ditumbuhi bunga-bunga. Macam film Bollywood saat adegan bernyanyi. Oh, indahnya bukan main. Aku menikmati itu. Sekarang, tak ada kata terlambat dalam kamusku.
            Hari-hari bergulir dengan sangat lambat. Aku tak ingat betul seberapa lama aku telah menikmati perasaan aneh itu, sampai aku mulai bosan dengan perasaan yang kusadari ternyata banyak menyakitiku. Waktu rasanya begitu lama meskipun aku telah merasakan perasaan ganjil itu, masih dalam hitungan hari. Apakah ini yang disebut cinta oleh mereka, orang-orang? Waktu bisa berjalan begitu lambat dibuatnya. Seakan tak ada pikiran lain melainkan selalu memikirkan perasaan harap-harap cemas itu, atau melamunkan kebahagiaan di dalam dunia yang dikarang-karang sendiri. Dapat dibayangkan, ‘kan? Aku belum bercerita lebih jauh, namun sudah mulai muncul bahaya-bahaya jika mengenal cinta, meskipun belum begitu dalam. Mengenaskan sekali.
            Suatu ketika, sedang berlangsung latihan teater untuk persiapan mengisi acara di sekolah. Oh, mengharukan. Ternyata kami berdua sama-sama ikut ekstrakurikuler teater di sekolah. Wanita berpipi bakpao itu berperan sebagai wanita pendiam, cocok sekali dengan karakternya. Aku yang waktu itu sedang berperan menjadi pak tua yang miskin, kehilangan kendali dan sulit berkonsentrasi pada skrip teater yang sedang kupelajari. Aku mencuri pandangan ke arahnya. Mendadak aku ditatapnya, pandangan kami sama-sama melompat ke arah lain. Ia yang sedang menghafal naskah, duduk di meja sana, seakan melempar bola matanya keluar pintu. Bola mataku pun terpelanting ke lantai lalu kupungut dan kumasukkan ke saku celana. Pandanganku mendadak gelap gulita. Jantungku berdegup kencang, rasanya ingin copot dan hampir tergelincir ke saluran pencernaanku. Aku tak tahu apa itu cinta, tapi aku yakin inilah dia. Sebuah perasaan yang tak akan bisa kulukiskan dengan apapun: berdebar-debar namun bahagia.
Sebetulnya aku bukan anggota teater di sekolah itu. Bisa menjadi seperti sekarang ini, karena pernah terjadi kisah yang tak main-main. Tahun lalu saat aku masih kelas 1 SMA, teater sekolah pentas dalam acara perpisahan kelas 3. Malam sebelum acara, aku juga berada di lokasi latihan mereka. Keberadaanku bukan untuk ikut serta dalam latihan teater. Band-band sekolah juga harus tampil dalam acara tahunan itu. Sempat mengamati perkumpulan itu, seperti teater pada umumnya yang selalu begitu yang berakting kaku seperti menyaksikan laga kolosal pada televisi. Dapat kutaksir betapa membosankannya hari esok setelah matahari terbit dari timur, menyingsing sepenggalah. Kuat dugaanku pertunjukan itu akan menuai kekecewaan: kekecewaan penonton yang tak puas dan kekecewaan komunitas teater yang diabaikan penampilannya oleh penonton.
Perihal berbuat yang tidak-tidak, termasuk berbuat onar, itu adalah hobiku bersama teman-temanku. Teman-teman berandalku selalu punya setumpuk ide-ide busuk. Aku yang dikenal pandai meniru karakter-karakter orang, tengah malam itu aku berhasil juga dihasutnya. Dua orang guru kami di sekolah itu kebetulan adalah sosok-sosok yang terkadang kami banggakan, kadang pula kami benci. Ada beberapa orang di dunia ini, meskipun tak melakukan tindakan apa-apa, ia tetap lucu. Bahkan akan semakin lucu lagi jika ia banyak tingkahnya tapi tak sadar diri bahwa ia lucu. Karakter semacam itu adalah karakter bawaan (default: setelan dari pabrik). Kira-kira semacam itulah gambaran dari dua orang guru kami. Itu yang kami nikmati dari mereka. Ketika kami menertawainya sampai kaku perut kami, ia seperti patung. Namun jangan pernah salah! Orang-orang pemilik karakter semacam itu, kadangkala secara tiba-tiba emosinya meletup tanpa pernah diduga. Satu hal lagi―kadangkala―sekuat tenaga ia emosi, semakin ia lucu. Semakin pula kaku perut kami. 
Jam 2 tengah malam, entah jin mana yang melangkahkan kaki kami untuk mengendap-endap ke tempat horor itu. Tempat itu seharusnya mengerikan bagi kami karena berdekatan langsung dengan kuburan. Pendapat kuno tentang bermain-main di kuburan bisa berjumpa dengan makhluk halus, biarlah, tak ada yang ambil pusing. Semuanya begitu syahdu ketika batu nisan, rumput, dan daun-daun kamboja diterpa cahaya bulan yang ranum bak buah mangga. Di tempat itulah ide-ide busuk itu tercetus. Kami akan mementaskan teater gelap kami, teater yang tak terdaftar dalam rangkaian acara. Tak ada skrip apa-apa. Teman-temanku hanya duduk manis sebagai murid, sedangkan aku akan berperan sebagai guru yang sedang mengajar di muka kelas. Adegan teater kami akan begitu-begitu saja hingga usai. Kelihatannya akan monoton, namun lihat saja nanti.
            Keesokannya, dengan kostum teater yang bukan main megahnya, anggota teater sekolah bersiap-siap di belakang panggung karena tak lama lagi akan pentas. Di sana, berdiri seorang pria tua dengan aba-aba gerakan tangan seakan tak sabaran ingin menyaksikan anak didiknya unjuk kebolehan. Melihat anak-anak didiknya yang patuh terhadapnya, ia menghembuskan asap rokoknya hingga tak tampak lubang hidungnya. Kepulan asap rokoknya perlahan pecah, barulah tampak gusinya yang buram akibat nikotin yang menempel karena bertahun-tahun ia menjadi pecandu nikotin. Pak tua adalah orang yang sangat berdedikasi tinggi, sangat disiplin, dan totalitas. Properti panggung pun tak mau kalah dari persoalan busana teater. Semalam, sempat kulihat proses pendekorasian panggung oleh pak tua itu dibantu seniman-seniman hebat lainnya. Bergelas-gelas kopi dan berupa-rupa jenis rokok menemani mereka. Dan sekarang, sepertinya kerja keras mereka akan berbuah manis. Aku dan rekan-rekan teaterku berdebar-debar. Beberapa temanku terlihat panik dan sempat ingin mengundurkan diri dan memohon diri agar ia sebaiknya menonton saja dengan duduk manis di depan panggung. Aku menegar-negarkan hatinya lebih daripada aku menegarkan hatiku sendiri.

        

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...